Select Menu

Favourite

TENTANG CINTA

INSPIRING

SENI DAN BUDAYA

WISATA

RELATIONSHIP

Serba Serbi

LIFESTYLE

KAWRUH JAWA

KULINER

» » ” Yang Sejati ” , Dimanakah Itu ?


Unknown 3:12 AM 0




“In the course of over two thousand years of history, philosophy has attended to all the beings that can be found in the world (including the “world” itself), but has forgotten to ask what “being” itself is.” Martin Heidegger

Tiga ribuan tahun silam,

Suatu ketika, Ibrahim (baca Nabi Ibrahim) bertanya pada dirinya sendiri tentang apakah yang sejati itu? Siapakah yang sejati itu? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan krusial ini, pada suatu malam Ibrahim melihat nun jauh di sana bintang-bintang yang bertaburan, kemudian iapun mengambil kesimpulan awal bahwa “yang sejati” adalah bintang dilangit.

Seketika tesis ini dibantahnya sendiri karena “yang sejati” tak mungkin redup dan menghilang. Tahap selanjutnya, ia mempertuhankan Bulan. Nasibnya pun tidak jauh beda, bulan pun yang kelihatannya lebih besar dan terang dari bintang, bisa tenggelam dan redup. Setelah bintang dan bulan, dalam perjalanan mencari kesejatiannya, Ibrahim menemukan matahari yang jauh lebih besar dari bintang dan bulan. Tapi teryata itu pun tidak bisa memuaskan keingintahuannya tentang “yang sejati”. Setelah bosan dengan yang materi, Ibrahim beralih ke immateri. Sesuatu yang bukan sesuatu. Dan dia pun merebahkan dirinya dalam “kesejatian abadi”.

Aliran sungai memang tidak selalu jenih ketika sampai ke hilir. Banyak sampah, kotoran yang ikut bermuara bersama. Pun ajaran “kesejatian” Ibrahim tidak mulus dan sama seperti pada masa Ibrahim. Banyak materi yang kembali bercampur dengan “yang immateri” sehingga mengeruhkan ajarannya tentang yang sejati.

Beberapa dekade selanjutnya setelah Ibrahim,
Sang revolusioner selanjutnya adalah Moses (baca Nabi Musa). Pencarian Moses tentang “yang sejati” memang sudah tertanam sejak ia masih kecil dibawah asuhan sang ayahanda. Tetapi, puncaknya adalah ketika ia meragukan “konsepsi kesejatian” dengan keinginannya untuk dapat melihat “yang sejati” itu. Dia mungkin lupa bahwa materi tidak bisa dibandingkan dengan immateri. Dari keraguan ini, Moses yakin bahwa Kesejatian memang immateri, ia independent, tidak dapat dikonsepsikan. Iapun ikut merebahkan dirinya kembali bersama “kesejatian abadi”.

Beberapa tahun sebelum awal tahun Masehi
Di sebuah kota kecil di Yerusalem, seorang anak tanpa bapak lahir dari rahim Maria. Berbeda dengan Ibrahim dan Moses yang harus mencari sendiri “kesejatian” itu, Yesus bin Maria sejak lahir sudah dapat menjelaskan kesejatian itu kepada orang-orang disekelilingnya. Ibarat sebuah paket, Yesus bin Maria merupakan paket yang paling komplit.

Namun, yang disayangkan pun terjadi. Para pengikut Yesus bin Maria pun sendiri, beberapa puluh tahun setelah Yesus disalib, kembali menganggap bahwa Yesus adalah “yang sejati” karena ia lahir tanpa bapak, dapat menghidupkan orang yang sudah mati, dan dapat berbicara sejak ia lahir. Inilah periode terpendek dari sebuah ajaran kesejatian yang pernah tercatat dalam sejarah. Mereka kembali menganggap materi (baca Yesus) sebagai “yang sejati”. (Tentang konsili Nicea IV yang menyepakati konsep Trinitas). Yesus pun gusar, tidak bisa merebahkan diri dengan tenang bersama “kesejatian abadi”.

Enam ratus tahunan sesudah Yesus,
Di tahun gajah lahirlah Muhammad. Dalam pencariannya tentang “kesejatian”, Muhammad sering menyingkir dari keramaian orang-orang Arab yang saat itu menyembah ka’bah dan patung-patung (baca materi). Kegusaran Muhammad akhirnya membawanya pada sebuah pencerahan. “Yang sejati” adalah Immateri. Ia tidak bisa di konsep. Sesuatu (immateri) yang bukan sesuatu (materi).

Pola pikir ini mengarah pada teori metafisika tradisional, ketika Subyek mencari hakikat Objek. Sebagaimana Plato dan generasi sesudahnya sebelum Immanuel Kant. Tetapi pada masa Kant, seketika itu metafisika tidak lagi menemukan eksistensinya “Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaanya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).”

Dibagian awal tadi juga mengutip sebuah artikel dari Martin Heidegger. Secara singkatnya, bahwa kita terlalu menyibukkan diri kita untuk mencari dan mengkonsep tentang sesuatu sehingga kita sering memandang sesuatu tidak sebagai sesuatu itu sendiri, melainkan memaksakan pengetahuan kita tentang sesuatu itu sebagai yang hakiki. Dan kita menganggap bahwa “Yang Sejati” berada di dunia. Anda bingung?

What “being” its self is?
Pernahkah anda berpikir bahwa saat ini konsepsi anda tentang “yang sejati” perlu diragukan? Pernahkah anda meluangkan waktu barang sejenak untuk memikirkan apakah “yang sejati” itu? Dari manakah Ia berasal? Seperti apakah Ia?

The reality is its self not our perceptions. “Yang Sejati’ adalah dirinya sendiri bukan persepsi kita tentang “Yang Sejati”. Tuhan adalah Tuhan itu sendiri, bukan Tuhan menurut yang kita persepsikan. Semesta adalah semesta itu sendiri, bukan seperti apa yang kita sangkakan tentang semesta. Lantas bagaimana kita menyakini sesuatu yang tidak pernah sesuai dengan yang kita sangkakan?

SILAKAN BERCERMIN DAN LIHATLAH DIRI ANDA! Apakah yang Nampak dari tubuh Anda? Mukakah? Atau seluruh badan bagian depan? Samping? Lantas apakah diri anda “Yang sesungguhnya” sama dengan yang Nampak dalam cermin? Tidak. Lalu, siapakah Anda? Kita mungkin akan menjawab bahwa “Aku adalah seluruh bagian dalam tubuhku. Mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki.” Atau Anda akan menjawab, ”Hakikat keberadaanku adalah Ruhku.” Silakan anda berimajinasi dan menemukan “SIAPA DIRI ANDA”. Who You Are?

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments

Leave a Reply